Sejarah Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga atau Ho-ling adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini berada di pesisir utara pulau Jawa, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh.

Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po-li (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

Kisah yang berkembang di daerah Jawa Tengah bagian utara tentang seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran. Kisah legenda ini menceritakan mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ratu Sima menerapkan hukuman pemotongan tangan bagi yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Ternyata kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima menjatuhi hukuman dipotong kakinya kepada putra mahkotanya.

Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Ratu Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. 

Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta bernama Janabadra.

Kepemimpinan raja yang adil, menjadikan rakyat hidup teratur, aman,dan tenteram. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.

Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755 M.

Peninggalan Kerajaan Kalingga
Nama PeninggalanKeterangan
Prasasti TukmasTempatDitemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah.
IsiBertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Isi prasasti menceritakan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Prasasti SojomertoTempatDitemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
IsiPrasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno, bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Sailendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Candi AnginTempatDesa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara.
IsiKarena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin, maka dinamakan “Candi Angin”. Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.
Candi BubrahTempatDesa Tempur, Kecamatan Tempur, Kabupaten Jepara
IsiCandi Bubrah bisa juga dikatakan gapura menuju Candi Angin, Candi Bubrah berjarak kurang lebih 500 meter dari Candi Angin. Sesuai dengan namanya Candi bubrah merupakan sebuah bangunan candi yang berbentuk setengah jadi. Candi Bubrah dilihat dari bentuk dan bahan yang digunakan, besar kemungkinan candi ini dibuat pada zaman sebelum Candi Borobudur dibagun. Candi Bubrah merupakan tempat pembukaan kitab mahabarata di zaman Ratu Sima (Kerajaan Kalingga)
Lebih baru Lebih lama